logo universitas hamzanwadi
Selamat Datang Di Blog Prodi PBSI
Terima kasih atas kunjungan Anda di blog PBSI UNIVERSITAS HAMZANWADI,
semoga informasi yang ada di sini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi bagi mahasiswa
untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu yang bisa berguna untuk agama, nusa dan bangsa.

CERPEN-TANGIS DI UJUNG KEMARAU

tangis mahasiswiBy Dian Suarni
    Harus Naya akui cintanya terselubung kemunafikan, mengantarkan rasa pada seujung damba namun apa yang dia dapatkan? Kebenciannya pada pada Bintang memberi jeda masih tertinggal bulir-bulir cinta ini untuknya hingga sesal akan keegoisanku menafsirkan sesuatu bait waktu mengeja kepahitan dalam mushap jiwa Naya. Seperti bersarangnya  sekelumit mimpi pada setangkai nama Bintang. Yachh…nama itulah yang memenuhi lembaran-lembaran dyari Naya namun nama itulah yang menutup celah hatinya untuk menerima cahaya lain selain cahayanya. Entahlah,,mungkin ini adalah cinta tersulit bagi Naya, dimana dia belum mengikhlaskan Bintang pergi dari hidupnya. Naya mungkin gadis bodoh yang tak berhenti merangkai mimpi konyol untuk kembali menikmati secawan kebahagiaan dalam jambangan kasih sayang Bintang. Menanti dengan harapan kosong di gerbang kampus Biru, di setiap kemarau yang senja dan gerimis yang menua..Gila,cinta ini benar-benar buat gadis lesung pipi ini gila, memang bukan jasadnya yang terdampar di hadapan Bintang, namun hatiku mutlak masih milik Bintang yang mungkin tiada pernah berahkir.
    Kabar itu santer terdengar  di telinga Naya. Berita itu benar-benar tumpahan dirah yang meleleh di hatinya. Naya berusaha untuk tidak termakan oleh gosip murahan itu, namun realita menjamu tatapannya di gerbang kampus, Bintang terlihat bersama seorang gadis  bermata bola dan berbibir tipis, wajah gadis itu tentu saja sangat lekat dihati Naya, gadis itu adalah adalah Mila, sahabatnya. Sikap mereka tak menampakkan sikap sepasang kekasih, tidak ada yang mencurigakan bagi Naya, tetapi karena  anggapan itu berlahan luntur dari daun hati Naya karena Bintang dan Mila sering kepergok jalan berdua dan kabar-kabar yang bergelayut  menggerogoti dinding hati Naya dan melahap Bintang dan Mila dengan secawan kebencian. Apakah ini sebabnya Bintang sekarang agak berbeda, perhatiannya mulai luruh, bahkan telphone dan sms Naya sering Bintang abaikan. Naya brharap ini semua hanya dugaan yang akan ditepis oleh kenyataan.
    Tiga hari menjelang hari ulang tahun Naya yang ke 21, sosok Bintang seperti hilang dalam agenda waktu Naya, begitu juga dengan wujud Mila. Hal itulah yang membubuhkan steatmen yang menyakitkan, mereka telah menghkianati Naya? Disaat Naya membutuhkan Bintang dalam hidupnya tetapi Bintang redup bersama gemulung kabut yang seharusnya menghangatkan bumi. Yachh, Bintang  malah sibuk menemani Mila menemani mamanya yang dirawat di rumah sakit, bahkan seharian  Bintang tidak pulang hanya untuk menemani Mila shoping dan menginap dirumah sakit. Hal itu buat Naya muak dan benar-benar mengoyak dinding hatinya, melahirkan buaian kepedihan yang rawan. Naya tidak habis pikir, dua insan yang ia sayang mengkhianati ikatan sukma yang ia rajut sekian lama.
    17 Oktober telah memenuhi kebahagiaan di ruang tamu yang megah itu, namun tak sedikitpun senyum kebahagiaan mengecup relung Naya. Bukankah ini adalah hari yang bersejarah sepanjang usia Naya. Kehadiran Bintang dan Mila di hari ulang tahunnya justru buatnya muak. Mulai dari situlah Naya memutuskan untuk berhenti mencintai Bintang, begitu juga dengan Mila. Naya mencoba langkahkan kaki dengan getir meninggalkan  perjamuan cinta dan persahabatan. Meskipun untuk melakukan semua itu terasa berat.
    Seperti hari-hari yang telah berlari dengan rasa sakit, Naya masih saja berlalu seperti nafas angin yang disapu mentari tanpa ditahan oleh getaran bibir Bintang yang memanggil Naya dari seberang bayangan orang-orang , Naya masih saja membatu dengan keangkuhan untuk tidak dapat melupakan bahkan memaafkan pengkhianatan Bintang dan Mila, telinganyapun terasa beku untuk mendengar penjelasan Bintang meskipun perasaannya masih dikawal oleh secercah cahayanya.
    “ Naya, kamu bisa gak dengar aku kali ini saja, setelah itu terserah kamu, mau gimana. Ini gak seperti yang kamu bayangin.”Kata Bintang suatu hari di kampus.
    Suara itu seperti lagu sumbang yang memuakkan bagi Naya. Naya berpaling  saja darinya sambil terus berjalan, melihat sikap Naya yang seperti itu, Bintang menahan Naya dengan menarik tangannya, refleks Naya berhenti dan menatap Bintang dengan tajam.
    “Bin, lepasin gak!”
    “ aku gak akan lepasi kamu sebelum kamu dengerin aku dulu, kamu sangat keliru memvonis aku pacaran dengan Mila.Sepenuhnya cintaku hanya untukmu. Kujadikan cinta ini raja dan kesetiaankulah sebagai mahkotanya.” Bintang mencoba meyakinkan Naya.
    “ nonsense, aku sudah muak dengan ayat-ayat sastramu itu!”Naya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Bintang.
    “ Aku hanya ingin kamu tahu, Nay. Ada hal yang perlu kau ketahui tentang aku dan Mila. Sebuah masa lalu kembali menjadi serumpun anai-anai yang dipersatukan di wadah kepedihan, di talam kenestapaan. Kujelaskan padamu apa yang bergejolak dalam batinku ahkir-ahkir ini aku dan Mila sesungguhnya...”
    “ Cukup Bintang, cukup!!” Bulir-bulir kelukaan mengalir dari kedua bola mata indah Naya. Hatinya semakin teriris mendengar Bintang menyebut nama Mila.
    “ Aku gak mau dengar apapun dari kamu, tentang kamu ataupun tentang mila, anggap ja semuanya gak pernah ada diantara kita, aku cukup tegar koq untuk kehilanganmu, dan aku harap ini yang terakhir kamu berbicara denganku, selamat tinggal.” Naya ahkirnya berjalan menelusuri koridor kampus sambil menyapu air matanya. Luka hatinya semakin memangkas kekuatan batinnya.
    “ Nay, suatu saat kebenaran akan melahirkan airmata dan kau akan terpenjara oleh penyesalan. demi Allah Nay,aku gak ada apa-apa dengan Mila, Mila itu…” Suara Bintang melemah melihat bayangan kekasihnya semakin jauh. Diseberang sana, Naya masih mendengar kata-kata Bintang, Naya tiada bisa berbuat apa-apa untuk menguatkan hatinya, ia terlanjur jatuh.
    “ Kamu gak tahu Nay, betapa dalam perasaanku padamu, melihat airmata yang tumpah dari bola matamu saja itu buat aku tersiksa apalagi melepaskanmu.” Batin Bintang tarus bergema diruang hatinya yang kelam.
    Air mata Naya meretas menimpa sekelumit senyum seseorang di foto yang berada di tangannya. Masa lalu yang sudah hamper mencapai satu tahun bersaing memenuhi otakknya. Yach…itu benar-benar terjadi. Ternyata Mila adalah adik kandung Bintang, orang tua mereka terpisah saat mereka masih kecil. Mila mungil ikut tante Rumi, mamanya sedang Bintang yang saat itu masih berumur tiga tahun terpaksa melepaskan adiknya dan ikut Ayahnya. Sejak perpisahan itu mereka kehilangan jejak untuk saling menyalami. Dengan perjalanan hidup yang menyedihkan, Tuhan mempertemukan mereka ketika musibah menimpa keluarga mereka. Tante Rumi,  ibunya Mila mengidap penyakit Leukimia sehingga di rawat di rumah sakit. Sekarang Naya baru mengerti setelah pintu itu dengan trpaksa harus tertutup, kemungkinan kecil Cahaya Bintang itu akan redup selamanya. Selamanya??? Kata-kata itulah yang merenggut kekuatan Naya dengan sia-sia.
 Naya tiada berhenti menatap wajah Bintang yang terdampar bersama dirinya pada selembar potret masa lalu. Nada ponsel Naya berbunyi melepaskan tatapan mata yang hampa itu dari potret yang sedari tadi dia pandangi. Naya meraih handphonenya yang terletak di atas meja. Mila menelponnya? Dengan suara yang serak Naya menjawab suara gadis di seberang sana.
“ Nay, kamu bisa kan ke rumah sakit sekarang, keadaan kak Bintang sudah sangat kritis, dia terus mengiggau memanggil namamu.” Suara Mila menghembuskan kesedihan yang dalam.
    Naya tidak bisa berucap, bibirnya bergetar menahan beban luka sesalnya, mengapa ia baru menyadari setelah maut bermain-main dengan kekasihnya diseberang sana. Tiga bulan lalu Bintang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ia terbujur di rumah sakit dan mengalami koma hingga sekarang. Peristiwa itupun dilatari oleh gosip Naya yang dijodohkan dengan pengusaha muda, rekan ayahnya. Hal itu mengguncang emosi Bintang, mengacaukan pikirannya karena memang sesungguhnya Bintang masih sangat mencintai Naya, begitupun dengan Naya. Sekarang Berita itu menenggelamkannya dalam danau penyesalan, Naya telah mengorbankan cintanya untuk menghadapi maut. Naya, Naya…
    Sesampainya di rumah sakit langkah Naya terasa berantai, air matanya terus merayapi pipinya. Orang-orang yang ia temukan di sepanjang koridor rumah sakit seakan mengutuk perbuatannya dan menertawakan kekonyolanya yang menyebabkan cintanya pergi dengan kesakitan yang lara.  Yang sangat menyesakkan dada Naya adalah ketika Bintang terbujur hanya dibantu oleh alat bantu pernapasan, wajahnya yang tampan kini terlihat payah, Bintang belum pergi, hanya saja dia  istirahat meninggalkan kepenatan batin yang menggerayanginya. Naya seakan ingin roboh, bergetar seluruh persendianya mendapati Bintang yang redup dalam temaramnya kemarau bulan Mei.
    “ Katakan padanya bahwa kau ada disini, buat dia tersenyum, Karena kau lah sumber semangatnya. Bangunkan Kak Bintang dari lelapnya yang mengerikan ini Naya.” Suara Mila terisak seraya merebahkan kepalanya di pundak Naya.
    “ Naya, kata dokter jika Bintang gak sadarkan diri dalam dua jam ini, maka kemungkinan untuk bertahan sangat tipis.Harapan kita tinggal menunggu jarum jam saja Nay.” Kata tante Rumi.
    Naya semakin remuk redam dalam ketiadaan, entah kekuatan apalagi yang bisa merangkai kata hanya cintalah yang mampu melahirkan huruf demi huruf dari dasar kepedihan hatinya.
   
    Dengan kaki yang berantai luka dan sesal Naya mendekati Bintang yang masih bisu dan mata yang terkatup. Dengan ragu-ragu Naya meraih tangan Bintang sementara Tante Rumi, Mila dan Om Johan keluar dari ruangan itu.
    “ Bin,ini aku Naya, maafin aku, atas kehilafanku dimasa lalu. kau harus tau bintang, gak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku perjodohan itu gak bakal terjadi.”
“ Kamu harus bangun Bintang, buka matamu, lihat orang –orang yang menyayangimu terkekang dengan air mata.” Nafas naya tertahan melihat Bintang masih saja bisu.
    “ Bintang… kamu masih ingat kan ikrar kita berdua di bawah pohon randu, ketika kita meleburkan rindu, kau pernah bilang selepas wisuda nanti kau akan meminangku. sekarang, empat bulan lagi aku akan wisuda tentunya sebentar lagi aku akan jadi isterimu, kita akan bersatu seperti mimpi kita…hmm.” Naya sesenggukan, Air matanya mengalir deras.
    “ Ya…dan kamu pernah bilang, kita akan menikah di tepi pantai dimana pertama kali bertemu.  aku gak akan menikah dengan orang lain selain kamu kan,,karena kau tahu isi hatiku memilih kamu. Hmm.. dulu kamu begitu PD nya mengatakan kalau aku gak akan terpaut dengan cowok lain karena aku telah tertawan oleh ketampananmu”. Naya tersenyum getir  mengingat kenangan itu.
    “ Tapi kamu memang benar Bin, aku telah tertawan olehmu dan gak akan terlepas darimu karena sejatinya hatiku hanya milikmu”.
    “ Jadi kamu harus buktikan janjimu itu, kau harus bangun, kamu tahu keadaanmu yang kayak gini akan berlahan-lahan menghancurkanku aku gak kuat lihat kau seperti ini, kau buktikan kalau kamu gak akan ninggalin aku, buktikan Bintang…”Suara Naya parau. Kepalanya terbenam disisi pembaringan Bintang, tangannyapun masih erat menggenggam tangan Bintang.
Tangan Bintang bergetar, bergerak berlahan, namun hanya satu kali gerakkan. Mata Naya terbelalak, sekelumit senyum bergantung dibibirnya. Gerakan itu seperti lentera yang menyala dalam ruang pekat.
“ Ya Bin, kamu lihat, Bintang,,cincin yang kamu berikan dua tahun lalu masih melingkar indah dijari manisku, sedetikpun aku gak pernah lepaskan. Begitupun dirimu, Jiwaku akan hancur jika sedetikpun kau lenyap dari sisiku.”
“ Buka matamu dan lihat  aku yang beku menuggu cintamu untuk mencairkan dan menghanyutkan lukaku. gerakkan jemarimu dan hapus air mataku dari kepedihan cinta dan rasakan jiwaku akan terkikis bersama cintamu yang kian beranjak pergi, katakanlah bahwa aku suri hidupmu seperti yang pernah kau katakana dulu.”Tangan Naya menggenggam erat Tangan Bintang, seerat kerelaanya yang belum terlepas.   
     Dengan nafas yang bergetar Naya merapatkan bibirnya di telinga Bintang.
    “ Jika suri hidupmu berada di sisimu, mengapa pula kau bermuram durja dengan bibir yang terkatup sendu?” Kata yang pernah Bintang ucapkan dulu  ketika Naya ngambek, kata-kata itu kembali terlahir dari bibir Naya yang kering.
    “ Na…yaa…” Suara Bintang hampir tak terdengar, matanya masih terpejam dan terlihat payah.
    “….iya,  aku disini Bintang, aku disini, disampingmu.”Naya memegang bahu Bintang.
    Mata Bintang tersadar dari pejaman yang membuatnya hanyut dari segala ketiadaan. Mata itu menyorot gadis yang di sampingnya. Sembilu yang terasa menguliti jiwa Naya seakan terangkat.
    “ Bintang…”
    “ Kau jelek sekali kalau menangis, Nay.”Bintang meraba pipi Naya.
    “ Hmm…air mata ini tidak akan kau lihat jatuh lagi jika kau kembali menemaniku menghitung hari. kamu harus sembuh Bintang, kita buka kisah kita dengan lembaran baru nan indah.” Air mata  berbaur dengan senyum Naya.
    “ Aku berharap air matamu jangan gugur lagi ketika aku beranjak pergi Nay, air matamu akan menenggelamkanku dalam kepedihan. Iringi kepergianku dengan senyum dan doamu.”
    “Tidak bintang jangan katakana itu, kau harus hidup denganku, kau harus bertahan, kau  tahu betapa laranya jiwaku tanpamu.” Naya terisak.
    “ Harapan tinggal tinta emas dan akan buram bahkan hilang oleh hembusan kehidupan Nay, dan aku rasa saatnya aku ikhlaskan kau dengan orang lain Nay, karena maut tlah membelaiku sepanjang perisitirahanku yang sementara ini, aku sudah tidak kuat Nay…”Suara Bintang berat dan tertahan, tergambar sekali betapa payahnya dia menghadapi ajalnya.
    “ Tidak Bintang, kau jangan putus asa, kau harus yakin kau akan sembuh…” Tenggorokan Naya terasa bersekat. Namun  ia terasa mendapatkan energy yang menyakitkan sehingga suaranya mampu keluar dengan histeris  memanggil Tante Rumi, Om Johan dan Mila. Mereka berhamburan masuk dalam ruang yang hampir gelap oleh tabir ketiadaan. Wajah mereka memancarkan semburat kesedihan yang dalam.
    Tatapan yang masih jernih, Bintang menatap mereka satu persatu kembali bermuara pada kekasih hatinya, Naya. Lama Bintang memerangi rasa sakit yang mencekiknya dan dengan bibir yang telah pucat dan kering kembali dia berucap.
    “ Allah Maha Mengetahui Nay, Betapa dalam dan agungnya cinta yang ia titipkan padaku untuk mencintaimua, namun aku harus relakan israil menghentikan langkahku…” Bintang mengambil nafas dengan lelah.
    “ Jika dalam kehidupan ini kau harus jalani hidupmu dengan orang lain, maka setelah ini, kehidupan setelah ketiadaan kau akan jadi milikku Nay, kita akan bertemu.”
    “ Allah akan mempersatukan kita dalam keabadi…”
    “ La..ilaha..ilallah…” Sabda terahkir yang mampu lahir dari tenggorokan Bintang menutup pertemuan dua insan itu.
    Bintang telah hilang, gugur ke perut bumi meninggalkan mereka yang terantai dengan kedukaan yang dalam. Naya terasa roboh, jantungnya terasa terenggut dengan keras, nyata kehilangannya begitu kuat  dan kenestapaan semakin menghentaknya. Matanya masih menangkap sketsa tanpa warna kehidupan, hanya saja senyum Bintang masih tertinggal dan sinar itu masih ia titipkan pada hati seorang gadis yang memenuhi pelataran jiwanya.
“Jika Allah memperkenankan kita Bintang, tunggulah aku di gerbang syurga, karena aku pasti datang menjamu impian.” Batin  Naya mengantarkan Bintang  di pembaringan yang sunyi.
Lima bulan larut dalam suram dan pekat yang membungkus sinar kehidupan Naya, selama itu pula, Naya hampir tidak pernah merasakan senyum karena dia lupa bagaimana cara tersenyum, terahkir dia tersenyum adalah ketika Bintang masih menguraikan impian dan cintanya ketika mengahadapi ajalnya, senyuman dengan airmata, tapi itu sesungguhnya bukan senyuman, tetapi tangisan, ait mata yang mengawali musim hujan tahun ini.Tangis di ujung kemarau yang mungkin bagi Naya itu sulit baginya untuk melupakan kenangan itu.
Naya Bertanya pada kerumunan luka yang slalu berdenyut menggerakkan hati dan sendi kehidupan, “Bintang, Masihkah kau bisa melihatku hari ini, ketika toga hitam ini telah ku sandang, aku pikir kau bisa mendampingiku seperti cerita kita dulu, tapi aku yakin, Bin di atas sana kau menyaksikanku, kau bisa lihat kan Bin, senyum kemenangan yang hampa tanda dirimu, cintaku.” Lirih Naya.
Hari semakin rengsa Naya jalani, semua begitu hambar, Angin terasa menyesakkan dadanya, mentari terasa menguliti jasadnya yang semakin kurus, wajahnyapun yang dulu serupa Kristal yang ditimpa cahaya keindahan sekarang memudarkn warna keindahan itu, menggambarkan kesedihan yang lara. Tatapannya kosong. Naya yang kosong itu mengukir mimpi yang kelam di dinding-dingin kamar sunyi, menghabiskan waktu dengan renungan-renungan dan ayat-ayat luka di kamarnya. Dia seperti gadis yang hilang akalnya, tidak ada yang bisa ia lakukan selain melukis wajah Bintang dan menempelnya di dinding kamar itu,  tidak akan berucap kecuali di sebutkan nama Bintang, dengan begitu, Naya akan tersenyum manis kemudian akan meneretaskan air mata lalu. Mungkinkah Naya yang cantik  sudah tidak waras?? Pertanyaan orang-orang yang mengenal jiwa masa cerah Naya dulu.
Enter your email address to get update from pbsi.
Print PDF
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Copyright © 2013. PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved | Template Created by Kompi Ajaib Proudly powered by Blogger